Senin, 10 April 2017

Laporan Analisa Esai

Trauma Mendalam Dan
Kuatnya Mental Sang Jurnalis Fotografer


Latar Belakang
Film ini dibuat berdasarkan autobiografi berjudul The Bang Bang Club: Snapshots from the Hidden War (2000) dari buku berjudul MARINOVICH AND SILVA. Buku yang bertutur tentang sensasi ketegangan pasca perang ras di Afrika Selatan dan moral untuk mengungkap kebenaran ini ditulis oleh Greg Marinovich dan Joao Silva setahun setelah tewasnya Oesterbroek dan bunuh dirinya Kevin Carter pada 1994. Silva lebih tertarik menjadikannya sebagai film aksi dari pada film dengan tingkat kecerdasan lebih mendalam dan lebih tertarik menghadirkan perjalanan karir fotografer  jurnalis muda pemberani yang masuk kedalam pertempuran ras : Greg Marinovich (Ryan Phillippe), Joao Silva (Neels Van Jaarsveld), Kevin Carter (Taylor Kitsch), dan Ken Oesterbroek (Frank Rautenbach). Mereka berjuang untuk hidup dan bekerja keras, karena keberutalan dan kekerasan itu terkait pemilu bebas pertama pasca apartheid di Afrika Selatan era 90-an, agar dapat menunjukkan karya terbaik mereka kepada dunia sebagai sebuah film aksi yang dipenuhi dengan adegan menegangkan dari pada mencoba mengupas lebih dalam mengenai apa makna dan tujuan dari pekerjaan sebagai seorang foto jurnalis bagi keempat karakter tersebut. Silva, menulis naskah cerita film ini menginginkan agar penonton  mengetahui bagaimana rasanya bekerja di tengah-tengah sebuah situasi yang kapan saja beresiko untuk merenggut nyawa siapapun yang berada di daerah tersebut. Dan Silver telah berhasil melakukannya sebagai sebuah film yang bercerita dengan cepat, menyentuh pada beberapa bagian dan tampil cukup mengesankan secara keseluruhan.
ketika film ini beralih pada kisah personal keempat karakternya dan cerita romansa dari masing-masing tokoh, contoh karakter Greg Marinovich perlahan mulai mengendur intensitasnya. Ini mengakibatkan drama yang dihadirkan di pertengahan film terasa sedikit membosankan. Silver berusaha meningkatkan intensitas dengan menghadirkan drama emosional peperangan pada bagian akhir . Walau masih belum cukup untuk menyamai kadar intensitas yang pernah dihasilkan pada bagian awal film, setidaknya mampu membuat film kembali menjadi sajian yang mengikat.


.
Pembahasan
Benua Afrika sejak bertahun-tahun yang lalu selalu menjadi perhatian dunia. Afrika ibarat kuali yang panas, benua kaya yang selalu jadi rebutan orang-orang dari seberang. Jejak pertikaian itu terus tertanam, pertikaian yang bahkan selalu meminta korban jiwa bertahun-tahun setelah masa kolonialisme secara tersirat dikatakan berakhir.
Periode awal 1990an, dua kubu di Afrika Selatan (ANS dan Inkhata) saling membunuh. Hanya karena perbedaan pandangan politik mereka turun ke jalan, menghunus parang dan saling serang. Afrika Selatan ibarat kuali dengan suhu mendidih. Di sanalah kemudian beberapa jurnalis kulit putih mencari momen yang tepat membingkai perseteruan itu, mengabarkannya ke dunia serta tentu saja mengisi kantong mereka dengan uang. Fotografer dilarang ikut campur dengan masalah yang ada, tetapi mereka diizinkan hanya sekedar memfoto tidak boleh ada tindakan apa-apa karena jika mereka membela berarti artinya mereka memihak, ketika fotografer itu meski secara tidak langsung membela ANS maka orang dari suku Inkhata akan langsung membunuhnya karena dianggap sebagai musuh begitu pula sebaliknya.
Tersebutlah 3 orang jurnalis foto pada harian The Star, mereka adalah Kevin CarterKen Oosterbroek, dan Joao Silva ketiganya kemudian secara tidak resmi membentuk sebuah klub yang mereka beri nama The Bang Bang Club. Nama yang secara tersirat menggambarkan kecanduan mereka pada situasi genting, situasi di mana desingan peluru, sabetan senjata tajam, luka menganga dan tangis kehilangan adalah makanan sehari-hari. Belakangan Greg Marinovich, seorang fotografer  freelance kemudian bergabung dan menggenapkan anggota klub ini menjadi 4 orang. Walau hanya dianggap sebagai seorang fotografer pemula pada awalnya, Greg kemudian secara perlahan mampu mendapatkan respek para rekan kerjanya atas keberaniannya untuk menembus wilayah-wilayah konflik yang dianggap tidak dapat disentuh sebelumnya hanya untuk mendapatkan berita nyata. Greg juga menemukan sebuah senjata api yang nyaris ia foto didalam ruangan kepala suku disana. Nyaris tanpa perhitangan sama sekali, dia kadang menjatuhkan dirinya ke dalam medan perang yang sesungguhnya, hanya berjarak beberapa meter dari maut. . kenekatan itu pula yang kemudian diganjar dengan Greg Marinovich mendapatkan Pulitzer dengan karya fotonya “Zulu Spy 1992” (supporters SAANC burning alive a man) Pulitzer Prize – hadiah tahunan paling bergengsi untuk bidang jurnalisme, sastra dan komposisi musikal – pada tahun 1990 untuk sebuah karya fotonya yang fenomenal. Walaupun harus berurusan dengan pihak yang berwajib karena foto yang mengerikan itu tapi ia mampu mengatasi itu semua karena teman-temannya. Trauma menghantui mereka hingga sangat dalam karena melihat kematian secara langsung disaat mereka sedang down maka ada tokoh yang akan menjadi penyemangatnya . ketika ada seorang wartawan frelance bergabung untuk pertama kalinya di Bang Bang Club karena ajakan dari Greg dan langsung meninggal ditempat bahkan sebelum mereka mengambil foto itu menambang tingkat depresi seorang Greg untungnya ada Robin yang bersedia menjadi teman sekaligus tempat ia membagi masalahnya.
Bersamaan dengan penghargaan Pulitzer yang diraih Greg, keempat foto jurnalis tersebut kemudian mendapatkan perhatian yang luas dari banyak media internasional. Perhatian tersebut khususnya datang karena kualitas foto mereka yang mampu mengungkap banyak hal yang sebelumnya tidak diketahui khalayak ramai mengenai peperangan antar suku yang terjadi di Afrika Selatan. Permasalahan pribadi mulai mengintai keempatnya. Kekasih Greg, Robin Comley (Malin Ã…kerman), mulai tidak nyaman dengan resiko pekerjaan Greg. Kevin bahkan terlibat semakin dalam dengan permasalahan ketergantungan atas narkotika yang selama ini menderanya. Empat foto jurnalis yang biasa selalu bersama untuk mencari foto-foto mereka, kini mulai terpisah satu sama lain.
3 tahun kemudian giliran Kevin Carter yang meraih penghargaan Pulitzer. Karya Fotonya “Bearing Witness 1994” (tentang seorang anak perempuan pengungsi Sudan yang kelaparan dan di dekatnya ada burung bangkai sedang menunggu gadis tersebut mati untuk dimakan). Foto itu menjadi fenomenal karena menganggap Kevin sebagai orang yang tidak manusiawi . Kejadian di balik foto ini menjadi perdebatan tentang bagaimana sikap seorang jurnalis menghadapi situasi seperti itu, apakah membiarkan si anak kelaparan atau melakukan sesuatu untuk menolongnya ? Perdebatan yang ternyata membuat Kevin makin depresi.
The Bang Bang Club menceritakan bagaimana kisah di balik terciptanya foto-foto luar biasa itu beserta ratusan foto lainnya. Menjadi seorang jurnalis di tengah situasi panas oleh konflik tertentu bukan hal yang mudah. Hati nurani akan terus terusik sementara di sisi lain kode etik jurnalisme harus terus dijunjung tinggi. Mereka adalah orang-orang yang terjebak dalam situasi tidak nyaman, hati mereka berperang dengan tuntutan tugas. Dalam beberapa situasi, kejadian-kejadian yang mereka rekam kemudian menetap dalam waktu lama dalam memori mereka bahkan hingga mengguncang kejiwaan mereka.
Salah satu korbannya adalah Kevin Carter. Setelah publikasi fotonya yang luar biasa menyentuh itu, semua orang kemudian menanyakan nasib si anak perempuan dalam foto tersebut. St. Petersburgh Times di Florida bahkan menyebut kalau Carter tidak ada bedanya dengan burung bangkai itu. Dia hanya peduli pada frame dan sama sekali tidak peduli pada nasib si anak perempuan. Tudingan ini menambah daftar alasan untuk depresi pada sosok Kevin Carter selain berderet alasan lain yang sudah terekam dalam ingatannya. Puncaknya, pada 27 Juli 1994 Carter menghabisi nyawanya sendiri . Catatan bunuh dirinya menjadi bukti kalau dia sama sekali tidak bisa bertahan lagi dari segala macam trauma yang melekat selama masa pengabdiannya sebagai fotografer, ditambah lagi dengan kepergian temannya Ken yang meninggal dalam tugas.
Catatan terakhir dari Kevin Carter secara tersirat menyiratkan kondisi itu. Kondisi di mana dia sangat depresi karena tekanan trauma yang menetap selama bertahun-tahun.

“I am depressed … without phone … money for rent … money for child support … money for debts … money!!! … I am haunted by the vivid memories of killings and corpses and anger and pain … of starving or wounded children, of trigger-happy madmen, often police, of killer executioners … I have gone to join Ken if I am that lucky.”

Review
Salah satu foto Greg Marinovich berhasil mendapat penghargaan Pulitzer Zulu Spy 1992 penghargaan tertinggi di dunia jurnalistik.Kesuksesan Greg pun diikuti oleh Kevin dengan penghargaan pulitzer Bearing Witness 1994, foto yang menggambarkan anak kecil yang kelaparan bersama burung pemakan bangkai ketika Kevin bertugas di Sudan
Scoring music di film ini membantu kita menggiring pada rasa ketakutan. Tapi kerja keras mereka terbayar. Setidaknya Greg Marinovich mendapatkan Pulitzer Prize dengan karya foto jurnalisnya 'Zulu Spy 1992' (supporters SAANC burning alive a man) dan Kevin Carter mendapatkan Pulitzer Prize dengan karya foto jurnalisnya 'Bearing Witness 1994' (gadis sudan kelaparan yang di dekatnya ada burung bangkai sedang menunggu gadis tersebut mati untuk dimakan).
film ini bisa menjadi sumber inspirasi untuk para fotografer jurnalis, bahwa konflik yang terjadi tak menyurutkan nyali untuk mengungkapkan kebenaran kepada dunia, meski hanya melalui foto. Seringkali bahkan sebuah foto dapat bercerita banyak, daripada perkataan yang panjang lebar. Banyak sekali pesan moral  yang bisa diangkat dari hanya sebuah foto. Dan kebenaran itulah yang ingin disampaikan oleh para fotografer pemberani tersebut.

Sinopsis
Dalam daerah konflik, Peran media dalam daerah yang sedang dilanda konflik, sering menjadi jembatan informasi dari daerah tersebut kepada dunia. Dari sebuah berita yang tidak diketahui oleh dunia, hingga menjadi sebuah berita yang menggemparkan, tak lepas dari peran media dalam menyampaikan kebenaran beritanya, meski untuk mendapatkannya dibutuhkan usaha yang tak mudah.
THE BANG BANG CLUB adalah kisah nyata dari empat fotografer muda pemberani yang masuk ke dalam pertempuran ras : Greg, Joao, Kevin, dan Ken. terikat oleh persahabatan mereka dan rasa tujuan, bekerja sama untuk mencatat kekerasan, ketegangan pasca perang dan pergolakan menjelang pemilihan umum 1994 dari Nelson Mandela sebagai presiden. pekerjaan mereka berisiko dan berbahaya, berpotensi fatal sehingga, karena mereka dorong diri ke tengah-tengah bentrokan kacau antara pasukan yang didukung oleh pemerintah (termasuk prajurit Inkatha Zulu) dan orang-orang yang mendukung Kongres Nasional Afrika Mandela. Mereka berjuang mendapatkan foto terbaik bahkan dengan pengambilan foto dalam jarak yang begitu dekat ketika pertikaian sedang berlangsung. Tak jarang harian ternama dari penjuru dunia mau membayar mahal hasil foto dan video mereka. Karena niat mereka yang kuat, mempertaruhkan nyawa karena kebrutalan perang rasial dan kekerasan terkait pemilu bebas pertama pasca apartheid di Afrika Selatan era 90-an.
Karena Mereka berjuang untuk hidup dan bekerja keras selama periode ini agar dapat menunjukkan karya terbaik mereka kepada dunia. Berlari, sembunyi, uji nyali di antara desingan peluru dan di tengah pertikaian, membuat jantung berdebar. Tanpa tahu apa yang akan mereka temui dan dapatkan, kamera terus membidik ke segala arah. Aroma perjuangan terasa kental sepanjang film ini konflik yang pecah berlangsung kolosal. Apalagi tindakan-tindakan sadis dan brutal selama konflik juga digambar dengan jelas. Anda akan terbawa pada suasana Afrika Selatan yang memanas suhu politiknya.

Kekurangan dan kelebihan film 

di dalam film ini kurang menjelaskan secara mendalam tentang bagaimana profesi sebagai seorang jurnalis dan tidak memaparkan filosofi dan pekerjaan tersebut. adanya keganjalan dari film dipertengahan, dimana salah satu adegan ketika greg memasuki kota yang cukup ekstrim tersebut kenapa bisa begitu mudah padahal dia melewati tempat kejadian perang dan seharusnya ras itu tahu siapa saja yang boleh keluar-masuk daerah itu. beberapa momen terkesan agak datar sehingga emosi penonton kurang dilibatkan didalamnya. karekter utama Greg Mainovich terlihat sedikit kendor di tangan Ryan Philippe meskipin meman tidak buruk.

film ini membawa kita lebih jauh menilik perjuangan emosi para jurnalis perang yang harus terbiasa melihat sajian darah dan kekerasan di depan mata mereka demi menjalankan tugas. Adanya persahabatan yang erat antara sesama fotografer. film ini bisa menjadi sumber inspirasi untuk para fotografer jurnalis. Belajar tentang pesan moral  yang bisa diangkat dari hanya sebuah foto.

Teori yang dipakai
Teori peluru (Bullet Theory) artinya seperti teori IPS (setiap pesan media yang disampaikan oleh media akan berdampak dan menimbulkan sebab akibat). Karena setiap berita dan foto yang tersebar dimedia memiliki efek tersendiri bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat Masa Depan

Hallo kawan.. Perkenalan dulu mungkin yah biar lebih afdol.. ;) Nama saya Gita, tapi dari dulu saya ingin sekali punya nama panggi...