KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga tugas ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
juga kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Yogi Prawira M.I.Kom.selaku
Dosen Mata Kuliah Sistem Komunikasi Indonesia yang memberikan bimbingan, saran
ide dan kesempatan untuk kami.
Harapan
kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah
ini kami akui masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami harapkan kepada
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Bandung,
29 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar...........................................................................................................
2
Daftar
Isi ................................................................................................................... 3
BAB
I
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 4
1.3 Tujuan ..................................................................................................... 4
BAB
II
2.1 Pengertian
Kommunikasi Massa.............................................................. 5
2.2 Faktor yang
memengaruhi reaksi khalayak pada komunikasi massa..... 13
2.3 Efek komunikasi massa........................................................................... 20
BAB
III
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 24
Daftar
Pustaka ........................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Komunikasi telah mencapai suatu tingkat dimana orang
mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Melalui
setelit komunikasi sekarang ini secara teoritis mampu memperlihatkan suatu
gambar, memperdenganrkan satu suara kepada tiga milyar manusia diseluruh dunia
secara stimulan.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Pengertian komunikasi
massa.
2. Faktor yang
memengaruhi reaksi khalayak pada komunikasi massa
3. Efek komunikasi
massa
1.3 Tujuan
Untuk memahami dan mengetahui bagaimana psikologi menelaah efek yang
ditimbulkan oleh komunikasi massa pada perilaku penerima pesannya. Serta
melihat bagaimana karakteristik individu memengaruhi penggunaan media,
disamping meneliti pengaruh media massa pada sistem kognitif dan sistem afektif
khalayak.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Komunikasi Massa
Definisi yang paling sederhana tentang komunikasi
massa dirumuskan Bittner (1980:10): “Mass
communication is message communicated through a mass medium to a large number
of people” (Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui
media massa pada sejumlah besar orang). Ini mengundang banyak pertanyaan:
Apakah komunikasi massa itu pesan atau proses? Apa yang membedakan komunikasi
massa dengan komunikasi interpersonal atau komunikasi media?
Ahli
komunikasi yang lain mendefinisikan komunikasi dengan memperinci karakteristik
komunikasi massa. Gerbner (1967) menulis, “Mass communication is
the technologically and institutionally based production and distribution of
the most broadly shared continuous flow of messages in industrial societies” (Komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga
dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat
industri).
Meletzke (1963)
menghimpun banyak definisi; beberapa diantaranya dikutip disini.
1.
Komunikasi
massa kita artikan setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara
terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah
pada publik yang tersebar.
2.
Komunikasi
massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa
komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok,
dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi.
Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus
untuk menyampaikan komunikasi agar dapat mencapai pada saat yang sama semua
orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat.
3.
Bentuk
baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki
karakteristik utama sebagai berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif
besar, heterogen, dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali
dapat mencapai kebanyakan halayak secara serentak, bersifat sekilas; komunikator
cenderung berada atau bergerak dalam organisasi yang kompleks yang melibatkan
biaya besar.
Merangkum
definisi di atas, komunikasi diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak
atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan
sesaat. Perkataan “dapat” dalam definisi ini menekankan pengertian bahwa jumlah
sebenarnya menerima komunikasi massa pada saat tertentu tidaklah esensial. Yang
penting seperti dikatakan Alexis S. Tan (1981: 73), “The communicator is a social organization capable of reproducing the
message and sending it simultaneously to large number of people who are
spatiall separated.”
2.1.1
Sistem Komunikasi Massa versus Sistem Komunikasi Interpersonal
Secara
sederhana, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa, yakni surat
kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Bila sistem komunikasi massa
dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal, secara teknis dapat
menunjukkan empat tanda pokok dari komunikasi massa (menurut Elizabeth-Noelle
Neumann, 1973:92):
1)
Bersifat
tidak langsung, artinya harus melewati media teknis;
2)
Bersifat
satu arah, artinya tidak ada interaksi antara peserta-peserta komunikasi (para
komunikan);
3)
Bersifat
terbuka, artinya ditujukan pada publik yang tidak terbatas dan anonim;
4)
Mempunyai
publik yang secara geografis tersebar.
Karena
perbedaan teknis, maka sistem komunikasi massa juga mempunyai karakteristik
psikologis yang khas dibandingkan dengan sistem komunikasi interpersonal.
Tampak pada pengendalian arus informasi, umpan balik, stimulasi alat indra, dan
proporsi unsur isi dengan hubungan. Marilah kita lihat hal itu satu persatu.
a. Pengendalian arus informasi
Mengendalikan arus
informasi berarti mengatur jalannya pembicaraan yang disampaikan dan yang
diterima. Ketika membaca sebuah tulisan, pembaca tidak dapat menghentikan,
mempengaruhi atau mengubah pembicaraan. Mengapa? Karena sang pembaca sedang
terlibat dalam proses komunikasi massa. Yang artinya buku ini adalah medianya.
Sistem komuniksi interpersonal dapat menambah informasi yang diberikan dan juga
dapat mengubah informasi yang disampaikan
karena reaksi yang diterima dari lawan bicaranya (komunikasi dua arah). Keadaan ini mempengaruhi efek psikologi peristiwa
komunikasi. Dua
dosen State University Of New York tersebut mengatakan bahwa
dalam sistem komunikasi massa, komunikator sukar menyesuaikan pesannya dengan
reaksi komunikate. Dalam istilah komunikasi, reaksi khalayak yang dijadikan
masukan buat proses komunikasi berikutnya disebut umpat balik (feedback).
b. Umpan balik
Umpan balik berasal
dari teori sibernetika (Cybernetics) dalam mekanika –teori mekanistis tentang
proses mengatur diri secara otomatis. Orang yang dianggap penemu sibernetika
adalah Norbetwiener (1954) yang menulis buku Cybernetics dan Society. Wiener
memandang komunikasi dan kontrol itu identik. Sistem sibernetika menjelaskan
sistem komunikasi yang mengontrol fungsi sistem mekanis. Umpan balik adalah
metode mengontrol sistem. Dalam sibernetika, umpan balik adalah keluaran atau
(output) sistem yang “dibalikkan” kembali (feedback) kepada sistem sebagai
masukan (input) tambahan berfungsi mengatur keluaran berikutnya.
Dalam
komunikasi, umpan balik dapat diartikan sebagai respons, peneguhan, dan servom
mekanisme internal (Fisher, 1978: 286-299) sebagai respons umpan balik adalah
pesan yang dikirim kembali dari penerima ke sumber, memberi tahu tentang reaksi
penerima, dan memberikan landasan kepada sumber untuk menentukan perilaku
selanjutnya. Dalam pengertian ini umpan balik bermacam-macam jumlah dan
salurannya. Ada situasi ketika saluran mengangkut banyak umpan balik atau tidak
ada umpan balik sama sekali (dari Free
feedback sampai kepada zero feedback).
Ketika Anda mengobrol, umpan balik terjadi lewat saluran mata, telinga, dan
alat indra lainnya.
Umpan
balik sebagai peneguhan (reinforcement)
bermula dari psikologi behaviorisme. Respons yang diperteguh akan mendorong
orang untuk mengulangi respons tersebut. Sebaliknya, respons yang tidak
mendatangkan ganjaran—atau tidak diperteguh—akan dihilangkan. Dalam hubungan ini,
umpan balik adalah respons yang berfungsi mendorong atau merintangi kelanjutan
perilaku. Tentu saja umpan balik positif adalah
respons yang mendorong perilaku komunikatif berikutnya; dan umpan balik negatif
adalah respons yang menghambat perilaku komunikatif.
Umpan
balik sebagai servomekanisme berasal dari mekanika. Dalam setiap sistem ,
selalu ada aparat yang memberikan respons pada jalannya sistem. Maurer (1954)
memasukkan konsep penanak nasi ke dalam mekanisme psikologis. Belajar
menimbulkan servomekanisme dalam diri individu. Sikap yang diperoleh melalui
belajar, diinternalisasikan dalam diri individu sebagai mekanisme yang
menstabilkan perilaku individu. Konsep ini –seperti yang dinyatakan Fisher
(1978)—masih sangat kontroversial.
Perbedaan sistem komunikasi interpersonal dan sistem
komunikasi massa. Umpan balik sebagai respons mempunyai volume yang tidak
terbatas dan lewat berbagai saluran pada komunikasi interpersonal. Tidak
demikian pada komunikasi massa; umpan balik sebagai respons boleh dikatakan
hanyalah zero feedback. Wartawan
hampir tidak pernah tahu reaksi pembacanya. Dari segi ini, kita dapat
mengatakan komunikasi massa adalah komunikasi yang satu arah. Feedback loop tidak terjadi.
Hal
yang sama terjadi pada umpan balik sebagai peneguhan. Redaktur surat kabar,
majalah, atau penyiar radio dan televisi hanya memperoleh umpan balik dalam
keadaan terlambat (delayed feedback)
omzet yang terjual habis dalam waktu cepat, gejolak sosial yang timbul
sesudahnya, dan lain-lain. Sebuah obrolan
akan berganti dengan cepat karena cibiran
bibir Anda. Namun, isi majalah pada suatu waktu tidak segera berubah karena
reaksi pembaca waktu itu. Perubahan hanya terjadi mungkin pada waktu penerbitan
berikutnya. Perkembangan teknologi komunikasi massa mutakhir –seperti
manyambungkan terminal komputer dengan Central
Processing Unit atau Cable
television—memang memungkinkan umpan balik khalayak mengubah situasi
komunikasi dengan segera. Toffler sendiri menyebut gejala ini sebagai
demassifikasi media –proses menjadikan media massa tidak lagi media massa
(lihat toffler, 1981).
Dalam sistem komunikasi interpersonal,
sikap berfungsi sebagai servomekanisme. Dalam sistem komunikasi massa, dengan
menggunakan model terpadu efek media dari Defleur dan Ball-Rockeaceh (1975),
servomekanisme terjadi karena kendala ekonomi, nilai, teknologi, dan organisasi
yang terdapat dalam sistem media. Bila berita di terima tidak sesuai dengan
kebijaksanaan media yang bersangkutan, berita itu akan di interpretasikan, di
distorsi, atau tidak dimuat sama sekali. Di Indonesia, misalnya, tidak ada
sensor sebelumnya (previous censorship);
tetapi disetiap surat kabar mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dimuat.
c. Stimulasi alat indra
Dalam komunikasi
interpersonal seperti telah kita uraikan pada umpan balik, orang menerima
stimulus lewat seluruh alat indranya. Mendengar,
melihat, mencium, meraba, dan merasa (bila perlu). Dalam komunikasi massa,
stimulus alat indra bergantung pada jenis media massa. Mc Luhan (1964) pernah popular pada tahun 60-an ketika ia
menguraikan perkembangan sejarah berdasarkan penggunaan media massa. Ia membagi
sejarah umat manusia pada tiga babak: (1)
Babak tribal ketika alat indra manusia bebas menangkap berbagai stimulus tanpa
dibatasi teknologi komunikasi; (2) Babak Gutenberg,
ketika mesin cetak menyebabkan orang berkomunikasi secara tertulis dan membaca
dari kiri ke kanan; disini, hanya indra mata yang mendapat stimulus, sehingga
manusia akan cenderung berpikir linear –seperti membaca dari kiri ke kanan;
(3) Babak Neotribal,
ketika alat elektronik
memungkinkan manusia menggunakan beberapa macam alat indra dalam komunikasi.
d. Proporsi unsur isi dengan hubungan
Pada komunikasi interpersonal, unsur hubungan sangat
penting. Sebaliknya, pada komunikasi massa, unsur isilah yang penting. Dalam
komunikasi interpersonal, yang menentukan efektivitas bukanlah struktur, tetapi
aspek hubungan manusiawi: bukan “apanya” tetapi “bagaimana”.
Sistem
komunikasi massa justru menekankan “apanya”. Berita disusun berdasarkan sistem
tertentu dan ditulis dengan menggunakan tanda-tanda baca dan pembagian paragraf
yang tertib. Pidato radio juga disampaikan dengan urutan yang sistematis, dan
acara televisi sudah jelas disiarkan sesuai dengan struktur yang diterapkan.
Pesan media massa juga dapat dilihat dan didengar kembali. Pesan media massa dapat disimpan,
diklasifikasi, dan didokumentasikan.
2.1.2
Sejarah Penelitian Efek Komunikasi Massa
Sebuah
pemancar radio menyiarkan sandiwara Orson-Welles. Sandiwara ini begitu hidup
sehingga orang menduga bahwa yang terjadi adalah laporan pandangan mata. “Sebelum siaran itu berakhir,” begitu
dilaporkan Cantril, “di seluruh Amerika Serikat, orang berdosa menangis,
melarikan diri secara panik untuk menghindari kematian karena makhluk Mars. Peristiwa itu menarik beberapa orang peneliti sosial –suatu peristiwa langka
telah terjadi karena menggambarkan
keperkasaan media massa dalam memengaruhi khalayaknya. Sekarang orang memandang
media massa dengan perasaan ngeri. Sementara itu, pada dasawarsa yang sama,
juataan pemilik radio juga dipukau dan digerakkan oleh propagandis agama Father
Coughlin (teknik-teknik propaganda Coughlin dianalisis oleh Institute for
Propaganda Analysis). Jerman Nazi menggunakan media massa secara maksimal.
Media massa dikontrol dengan ketat oleh kementrian Propaganda. Menulis atau
berbicara yang bertentangan dengan penguasa Nazi dapat membawa orang pada
kamp-kamp konsentrasi. Oposisi dibungkam. Hanya informasi yang dirancang oleh
penguasa yang boleh disebarkan. Radio diperbanyak untuk menambah efektivitas
mesin propaganda. Disamping Hitler, Mussolini di Italia juga memanfaatkan media
massa untuk kepentingan fasisme. Sebelumnya, di Rusia Lenin berhasil merebut
kekuasaan, tak kurang dengan menggunakan media massa.
Harold
Lasswell membuat disertasinya tentang teknik propaganda pada Perang Dunia 1. The Institute for Propaganda Analysis,
menganalisis teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father
Coughlin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan
psikologi instink sedang popular dikalangan ilmuan. Dalam hubungan dengan media
massa, keduanya melahirkan apa yang
disebut Melvin de Fleur (1975) sebagai instinctif S R Theory. Stimulus perkasa membangkitkan desakan, emosi, atau proses lain yang
hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respons
yang sama pada stimulus yang datang dari media massa (de Fleur, 1975: 159).
Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimulus
media massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau “model jarum hipodermis” (Rakhmat, 1984), yang
menganalogikan pesan komunikasi seperti obat yang disuntikkan dengan jarum ke
bawah kulit pasien. Elizabeth Noelle-Neumann (1973) menyebut teori ini the concept of powerful mass media.
Pada tahun 1940-an,
Carl I Hovland melakukan beberapa penelitian eksperimental untuk menguji efek
film terhadap tentara. Ia dan kawan- kawannya menemukan bahwa film hanya
efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dapat mengubah sikap. Cooper
dan Jahooda meneliti pengaruh film Mr. Bigott yang ditujukan untuk
menghilangkan prasangka rasial. Mereka menemukan bahwa persepsi selektif
mengurangi efektivitas pesan. Serangan terbesar pada Model Peluru adalah
penelitian Paul Lazarsfeld dan kawan-kawan nya dari Columbia University pada
pemilu 1940. Mereka ingin mengetahui pengaruh media massa dalam kampanye pemilu
pada perilaku memilih. Daerah sampel yang
dipilih adalah Erie County, di New York. Oleh karena itu, penelitian mereka
lazim dikenal dengan sebutan Erie County Study.
Apa yang ditemukan Paul
Lazarsfeld? Mengejutkan: Media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali.
Alih-alih sebagai agent of conversion (media
untuk mengubah perilaku), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh
keyakinan yang ada. Pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan dari pada
media massa. Khalayak bukan lagi tubuh pasif yang akan selalu menerima mereka menyaring informasi melalui proses yang disebut
terpaan selektif ( selective exposure)
dan persepsi selektif (selective
perception).
Pada saat yang sama,
Leon Festinger dari kubu psikologi kogitif datang
dengan theory of cognitive dissonance (teori
disonansi kognitif) menyatakan bahwa
individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan
memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak
informasi yang bertentangan dengan kepercayaan
yang diyakininya. Berbagai penelitian 1940 dan 1950 an makin membuktikan keterbatasan,
pengaruh media massa. Pada tahun 1960, Joseph Klaper menerbitkan buku The Effects of Mass Communication. Rangkuman hasil penelitian, menyimpulkan efek komunikasi massa terjadi lewat
serangkaian faktor perantara dan itu termasuk proses
selektif (persepsi selektif, terpaan selektif, dan ingatan selektif, dan proses
kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinan opini).
Fokus penelitian
sekarang bergeser dari komunikator ke komunikate, dari sumber ke penerima. Khalayak dianggap aktif menggunakan media untuk memenuhi
kebutuhannya. Pendekatan ini kemudian
dikenal dengan pendekatan uses and
gratification (penggunaan dan pemuasan). Pendekatan ini pertama kali
dinyatakan oleh Elihu Katez (1959) sebagai reaksi terhadap Bernard Berlson yang
menyatakan bahwa penelitian komunikasi mengenai efek media massa sudah mati.
Yang mulai hidup adalah penelitian tentang usaha untuk menjawab pertanyaan: what do people do it the media? Karena
penggunaan media adalah salah satu cara untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan,
maka efek media sekarang didefinisikan sebagai situasi ketika pemuasan
kebutuhan tercapai.
Model lain yang termasuk
model efek moderat adalah pendekatan agenda setting yang dikembangkan oleh Maxwell E.
McComb dan Donald L. Shaw. Perbedaannya yang utama dari model jarum hipodermios
adalah fokus penelitian. Bila model yang
disebut terakhir meletakkan perhatian pada efek media massa terhadap sikap dan
pendapat, agenda setting memusatkan perhatian pada efek media massa terhadap
pengetahuan. Dengan kata lain, fokus perhatian bergeser dari efek afektif ke
efek kognitif.
Media massa tidak dapat mempengaruhi orang untuk mengubah sikap, tetapi media massa cukup
berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang. Ini berarti media massa
memengaruhi persepsi khalayak tentang
apa yang dianggap penting. Media massa memilih
informasi yang dihendaki dan berdasarkan
informasi yang diterima, khalayak membentuk presepsinya tentang berbagai
peristiwa. Mungkin ucapan Bernard Cohen, ahli ilmu politik, berhasil
menyimpulkan model agenda setting dengan dua kalimat sebagai berikut: “It may not be successful much of the time in
telling people what to think but it is stunningly successful in telling its
readers what to think about.” (Cohen, 1963: 13).
Pada awal 1970 an,
kampanye media massa terbukti mempunyai efek yang penting terhadap sikap dan
perilaku. Mendelsonn (1973) menunjukkan bagaimana kampanye CBS perihal
keselamatan pengemudi telah mendorong 35 ribu pemirsa mendaftarkan diri pada
kursus latihan mengemudi. Maccoby dan Farquhar juga membuktikan keberhasilan
media massa dalam mengampanyekan kesehatan untuk mengurangi penderita pentyakit
jantung. Di Jerman, Elisabeth noelle Neumann berpendapat, penelitian terdahulu tidak
memperhatikan tiga faktor penting dalam media massa. Faktor itu bekerja sama
dalam membatasi persefsi yang selektif.
Ketiga faktor itu adalah ubiquity, kumulasi
pesan, dan keseragaman wartawan.
Ubiquity
artinya serbaada.
Karena sifatnya yang serba ada, agak sulit orang menghindari pesan media massa. Sementara itu,
pesan media massa bersifat kumulatif. Berbagai pesan yang sepotong-sepotong
bergabung menjadi satu kesat-kali dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak
ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan (consonance of journalists). Secara singkat kita telah melacak perkembangan
penelitian efek komunikasi dari periode Perang Dunia 1 sampai sekarang, kira-kira setengah abad yang memang tidak berarti apa-apa dalam sejarah peradaban
manusia. Namun pada 50 tahun terakhir, dalam dunia komunikasi terjadi kemajuan yang jauh lebih
dari cepat dari pada apa yang terjadi selama puluhan ribu tahun sebelumnya.
Mungkin orang memandang pesimistis pada kebebasan manusia pada abad technectronic (teknologi elektronis)
yang akan datang.
2.2
Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Reaksi Khalayak Pada Komunikasi Massa
Model
jarum hipodermis menunjukan kekuatan media massa yang perkasa untuk mengarahkan
dan membentuk perilaku khalayak. Dalam kerangka behaviorisme, media massa
adalah faktor lingkungan yang memengaruhi perilaku khalayak melalui proses
pelajiman klasik, pelaziman operan, atau proses imitasi (belajar sosial).
Khalayak sendiri dianggap sebagai kepala kosong yang siap menampung seluruh
pesan komunikasi yang dicurahkan kepadanya (Dervin, 1981:74). Pesan komunikasi diangap sebagai “benda” yang dilihat
sama baik oleh komunikator maupun komunikate. Pesan komunikasi “model peluru”
mengasumsikan semua orang memberikan reaksi yang sama terhadap pesan.
Realitas
tidaklah sesederhana dunia kaum behavioris. Efek lingkungan beralinan pada
orang yang berbeda. Munculnya psikologi kognitif yang memandang manusia sebagai
organisme yang aktif mengorganisasikan stimulus, perkembangan teori kepribadian, dan meluasnya penelitian sikap (konsep yang ditemukan olehW.I.
Thomas dan Florian Znaniecki) mengubah potret khalayak. W. Philips Davision
menulis. Khalayak bukanlah penerima pasif – tidak dapat dianggap sebagai
sebongkah tanahliat yang dapat dibentuk oleh jago propaganda. Khalayak terdiri
atas individu-individu yang menuntut sesuatu dari komunikasi yang menerpa
mereka. Dengan kata lain, mereka harus memperoleh sesuatu dari manipulator itu
ingin memperoleh sesuatu dari mereka. Terjadilah tawar-menawar... khalayak dapat membuat proses
tawar-menawar yang berat. (Davison, 1959:360).
Raymond
A. Baur juga mengkritik potret khalayak sebagai robot yang pasif. Ia bahkan
menyebut khalayak yang kepala batu (obstinate
audience), yang akan mengikuti pesan jika menguntungkan mereka. Komunikasi
tidak lagi bersifat linier (dengan oeranan komunikator yang dominan), tetapi
merupakan trasaksi. ‘each gives in order
to get’ kata Bauer (dalam Schrammdan Roberts, 1997:345). Media massa memang
sangat berpengaruh, tetapi pengaruh ini disaring, diseleksi, bahkan mungkin
ditolak sesuai dengan faktor-faktor personal yang memengaruhi reaksi mereka.
2.2.1
Teori DeFleur dan Ball Rokeach tentang pertemuan dengan media
DeFleur
dan Ball Rokeach melihat berdasarkan tiga kerangka teoritis seperti: Perspektif perbedaan individual menandang
bahwa sifat dan organisasi personal psikologis individu akan menentukan
bagaimana individu memilih stimulus dari lingkungan,dan bagaimana ia memberi
makna pada stimulus tersebut. Perspektif
kategori sosial beramsusi bahwa dalam masyarakat terdapat kelompok-kelopok
sosial, yang reaksinya pada stimulus tertentu cenderung sama. Perspektif hubungan sosial menekankan
pentingnya peranan hubungan sosial yang informal dalam memengaruhi reaksi orang
terhadap media massa.
Lazarfield menyebutkan
“pengaruh personal”. Perspektif ini tampak pada model ‘two step flow of communication’ artinya informasi bergerak melewati
dua tahap. Pertama, informasi bergerak pada pada sekelompok individu yanglebih
tahu dan sering memperhatikan media massa. Kedua, informasi bergerak dari
orang-orang itu – disebut “pemuka pendapat”- dan kemudian melalui saluran
interpersonal disampaikan kepada individu yang bergantung kepada mereka dalam
hal informasi. Berbagai faktor akan memengaruhi reaksi orang terhadap media
massa.
2.2.2
Pendekatan motivasi dan uses and
Gratification
Menurut
pendirinya, Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch, uses and Gratification meneliti asal
mula kebutuhan secara psikologis sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari
media massaatau sumber-sumber lainy, yang membawa pada pola terpaan media yang
berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan
kebutuhan dan akibat-akibat lain, barangkali termasuk juga yang tidak kita
inginkan (Katz, Blumler, Gurevitch, 1974:20). Teori ini merumuskan
asumsi-asumsi dasar :
1.
Khalayak
dianggap aktif; artinya sebagian penting dari media massa diasumsikan mempunyai
tujuan.
2.
Dalam
proses komunikasi massa banyak inisiatif, untuk mengaitkan pemuasan dengan
pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
3.
Media
massa harus bersaing dengan dengan sumber lain untuk memuaskan kebutuhanya.
4.
Banyak
tujuan pemilihan media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota
khalayak; artinya orang dianggap mengerti untuk melaporkan kepentingan dan
motif pada situasi tertentu.
5.
Penilaian
tentang arti kultur dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih
dahulu orientasi khalayaknya (Blumler dan Katz, 1974:22).
Model uses and gratification memandang individu sebagai makhluk
suprarasional dan sangat selektif. Sven Windhal (1981:177) menuliskan perbedaan
antara pendekatan efek (model jarum hipodermis) dengan pendekatan uses and gratification dalam diagram.
Perhatian dipusatkan pada kerangka psikologis yang mendasari motif beserta
pemuasan kebutuhan melalui komunikasi massa. Tulisan William J. McGuire (1974)
yang mengaku sebagai a card carrying
psychologist akan dipergunakan sebagai dasar bagi penjelasan klasifikasi
motif.
Komunikasi
massa didorong oleh motif tertentu. Ada berbagai kebutuhan yang dipuaskan oleh
media massa. Pada saat yang sama kebutuhan ini dapat dipuaskan oleh sumber lain
selain media massa. Media massa dapat memberikan hiburan jika khalayak
membutuhkan kesenangan. Ketika mengalami goncangan batin, media massa
memberikan kesempatan untuk melarikan diri dari kenyataan. Dan Media massa juga bisa sebagai sahabat
jika sedang kesepian. Tentunya semua itu juga bisa didapatkan dari sumber lain
seperti kawan, hobi, atau tempat ibadah.
Jumlah
kebutuhan yang dapat dipengaruhi media belum bisa disepakati. Sigmund Freud
menyebutkan dua macam motif: eros
(hasrat bercinta) dan thanatos
(hasrat merusak). Henry A. Murray (1968) menyebutkan 28 macam kebutuhan
psikologenis yang pokok. Erikson (1963) menyebutkan 8 kebutuhan psikogis.
Abraham Maslow (1970) mengusulkan 5 kelompok kebutuhan yang disusun dalam
tangga hierarkis dan kebutuhan fisiologis sampai kebutuhan pemenuhan diri.
Dalam hubungannya dengan pemuasan kebutuhan (need gratification) oleh media, peneliti komunikasi pun tidak
menunjukkan kesepakatan (Rhat Katz, Blumler, dan Gurevitch, 1974). Ada yang
beranggapan media massa hanya memenuhi satu kebutuhan saja, yaitu memuaskan
keinginan melarikan diri atau hasrat bermain (Stephenson). Kaarle Nordensrteng
menyebutkan bahwa motif dasar untuk menggunakan media adalah kebutuhan akan
kontrak sosial. Oleh katz, Blumler, dan Gurevitch (1974), mereka dikelompokkan
pada aliran unifungsional.
Ahli
komunikasi lainnya menyebutkan dua fungsi media massa dalam aliran
bifungsional. Media massa memenuhi kebutuhan akan fantasi dan informasi menurut
Weist; atau hiburan dan informasi menurut Wilbur Scramm. Adapun yang lain
menyebutkan empat fungsi media massa dalam memenuhi kebutuhan: surveillance (pengawasan lingkungan), correlation atau hubungan sosial,
hiburan dan transmisi kultural seperti dirumuskan oleh Harold Lasswell dan
Charles Wright.
Motif
Kognitif dan Gratifikasi Media
Motif kognitif menekankan kebutuhan
manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional
tertentu. Motif afektif menekankan aspek perasaan dan kebutuhan mencapai tingkat
emosional tertentu.
Tabel 3
MATRIKS PARADIGMA MOTIVASI MANUSIA
(Dalam hubungannya dengan gratfikasi
media)
Modul Orientasi
Stabilitas
|
Aktif
|
Pasif
|
|||
Internal
|
Ekternal
|
Ekternal
|
|||
Kognitif
|
Pemeliharaan
|
1.
Konsistensi
|
2.
Atribusi
|
3.
Kategori
|
4.
|
Pertumbuhan
|
5.
Otonomi
|
6.
Stimulasi
|
7.
Teleologis
|
8.
Utilitarian
|
|
Afektif
|
Pemeliharaan
|
9.
Reduksitas
|
10.
Ekspresif
|
11.
Ego-defensif
|
12.
Peneguhan
|
13.
Penonjolan
|
14.
Afilasi
|
15. Identifikasi
|
16.
Peniruan
|
16
motif ini adalah berdasarkan aliran dalam psikologi motivational oleh William
J. McGuire (1974), tetapi dalam motif
kognitif yang berorientasi pada
pemeliharaan keseimbangan menekan aspek kognitif dari kebutuhan manusia yang
bertitik tolak dari individu sebagai makhluk yang memelihara psikologisnya.
McGuire hanya menyebutkan empat teori seperti:
Teori
Konsisitensi yang
mendominasi penelitian psikologi sosial pada tahun 1960 an memandang manusia
sebagai makhluk yang dihadapkan pada berbagai konflik. Konflik ini mungkin terjadi diantara beberapa
kepercayaan yang dimilikinya seperti “Merokok itu merusak kesehatan” dan
“Merokok itu membantu proses berfikir” .
Teori
atribusi yang berkembang
pada tahun 1960-an dan 1970-an memandang individu sebagai psikologi amatir yang
mencoba memehami sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya
seperti mencoba untuk menemukan apa menyebabkan apa, atau apa yang mendorong
siapa yang melakukan apa.
Teori
kategorisasi memandang
manusia sebagai orang yang mengelompokkan pengalamannya dalam kategori yang
sudah disiapkannya. Menurut teori ini, orang memperoleh kepuasan apabila
sanggup memasukan pengalaman dalam kategori yang sudah dimilikinya,dan menjadi
kecewa bila pengalaman itu tidak cocok prakonsepsinya. Proyek pembangunan yang
menyejahterakan rakyat adalah contoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi
bahwa kerja keras, kesungguhan dan usaha melahirkan manfaat.
Teori
objektifitas memandang
manusia sebagai makhluk yang pasif, yang tidak berfikir, yang selalu mengandalkan
petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep tertentu. Teori ini
menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunju kepada individu
untuk menafsirkan atau menidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk
mengatribusikan perasaan negatif pada faktor eksternal,atau memebrikan kriteria
pembanding yang ekstrim untuk perilakunya yang kurang baik.contohnya adalah
ketika seorang pegawai tidak merasa bersalah ketika menyelewengkan uang kantor
setelah mengetahui korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh orang lain.
Kemudian ada empat teori kognitif
berikutnya:
Teori
otonomi yang
dikembangkan oleh psikologi mazhab humanistik yang melihat manusia sebagai
makhluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas
kepribadian yang otonom. Dalam teori ini kepribadian manusia berkembang
melewati beberapa tahap sampai ia memiliki makna hidup yang terpadu.
Teori
simulasi memandang
manusia sebagai makhluk yang “lapar stimulus” yang senantiasa mencari
pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal yang bisa memperkaya
pemukirannya. Televisi, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang pada
dunia yang tak terhingga baik dengan kisah fantastis maupun yang aktual.
Istilah Daniel Lerner yaitu media menyajikan pengalaman buatan (vicarious experience).
Teori
teleologis memandang
manusia sebagai makhluk yang berusaha mencocokkan persepsinya tentang situasi
sekarang dengan representasi internal dari kondisi yang dikehendaki.
Teori
utilitarian memandang
individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk
memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang diperlukan dalam
menghadapi tantangan hidup. Contoh petani mengetahui cara menggunakan pupuk dan
insektisida dari siaran radio pedesaan.
Motif
Afeksi dan Gratifikasi Media
Delapan teori diatas berkenaan dengan
aspek kognitif, delapan teori berikutnya berkenaan dengan motif afeksi yang
ditandai oleh kondisi perasaan ataudinamika yang menggerakkan manusia mencapai
tingkat perasaan tertentu.
Teori
reduksi tegangan memandang manusia sebagai sistem tegangan yang memperoleh
kepuasan pada pengurangan ketegangan. Ungkapan perasaan dipandang dapat
berfungsi sebagai katarsis atau pelepasan tegangan. Menurut kerangka teori ini,
komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan
peristiwa atau adegan kekerasan. Contoh film kekerasan dalam televisi dianggap
memebantu orang melepas kecenderungan agresifnya.
Teori
ekspresif menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkap
eksistensi dirinyadalam menampakkan perasaan dan keyakinannya. Media massa
bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga
menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspresi diri seperti : teka-teki
silang, kontes, novel misterius, acara kuis televisi.
Teori
ego defensif beranggapan bahwa dalam
hidup ini kita mengembangkan citra diri yang tertentudan kita berusaha untuk
mempertahankan citra diri serta berusaha hidup sesuai dengan diri dari dunia
kita. Dari media massa, kita memperoleh informasi untuk konsep diri kita,
pandangan dunia kita, dan pandangan kita tentang sifat manusia dan hubungan
sosial. Dengan demikian komunikasi massa memberikan bantuan dalam melakukan
teknik pertahanan ego.
Teori
peneguhan memandang bahwa orang dalam situasai tertentu akan bertingkah laku
dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya
pada waktu lalu. Teori ini memang berasal dari mazhab behaviorisme, contoh
membaca buku ditempat yang sepi. Hal yang netral dikaitkan dengan hal yang
menyenagkan menjadi stimulus yang menyenangkan juga.
Teori penonjolan atau assertion memandang manusia sebagai
makhluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh
penghargaan dari dirinya dan orang lain. Teori ini menekankan motif agresi dan
berkuasa memang tidak terlalu berhasil dapat dipuaskan komunikasi massa tetapi
komonikasi massa merupakan institusi pendidikan yang menyediakaninformasi dan
keterampilan yang membantu orang untuk menaklukan dunia.
Teori
afilasi atau affiliation memandang manusia sebagai makluk yang mencari kasih
sayang dan penerimaan orang lain. Lasswell (1948) menyebutkan fungsi correlation. Asumsi pokok Katz, Gurevitz
dan Hass adalah pandangan bahwa komunikasi massa digunakan individu untuk
menghubungkan dirinya melalui hubungan instrumental, afektif dan integratif
dengan orang lain (diri, keluarga, kawan, bangsa, dan sebagainya). Dinegara
maju misalnya Amerika Serikat televisi telah menjadi oran tua kedua (bahkan
orang tua pertama) bagi anak-anak; penghibur bagi mereka yang frustasi, dan
kawan setia bagi mereka yang kesepian.
Teori
identifikasi melihat manusia sebagai pemain peran yang berusaha memuaskan
egonya dengan menambahkan peranan yang memuaskan pada konsep dirinya. Kepuasan
diperoleh bila orang memperoleh identitas peranan tambahan yang meningkatkan
konsep dirinya.
Teori
peniruan (modeling theories) hampir sama dengan teori identifikasi,
memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan kemampuan
afektifnya. Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru oleh
khalayak. Media cetak mungkin menyajikan pikiran dan gagasan yang lebih jelas
dan lebih mudah dimengerti dari pada orang biasa dalam kehidupan sehari-hari.
Media piktorial seperti televisi, film, dan komik secara dramatis
mempertontonkan perolaku fisik yang mudah dicontoh. Laporan dari U. S. Surgeon
General menunjukkan bahkan adegan kekerasan yang ditampilkan sebagai hal yang
jelek juga ditiru oleh khalayak.
Menurut aliran uses and gratification, perbedaan motif dalam konsumsi media massa
menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Ini berarti
bahwa efek media massa juga berlainan pada setiap anggota khalayaknya. Kepada
pencari informasi, media massa diduga mempunyai efek kognitif yang menguntungkan. Kepada pencari identitas,
media massa mungkin menimbulkan efek afeksi yang mengerikan. Kepada pencari
model, media massa mungkin mendorong perilaku yang meresahkan.
2.3
Efek komunikasi Massa
Media digunakan oleh orang adalah untuk
pemuas kebutuhannya. Yang ingin orang tahu adalah bukan membaca surat kabar
atau menonton televise tetapi bagaimana televise menambah penegetahuan,
mengubah sikap, atau menggerakkan perilaku. Inilah yang disebut efek komunikasi
massa.
Komunikasi massa menimbulkan efek pada
diri khalayak. Menurut Steven M. Chaffee (dalam Wilhoit dan Harold de Bock,
1980: 78) adalah membatasi efek hanya selama berkaitan dengan pesan media
massa, akan mengesampingkan banyak sekali pengaruh media massa ini adalah
pendekatan pertama dalam melihat efek media massa. Pendekatan yang kedua ialah
melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komunikasi massa pada
penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap dan perubahan perilaku;
atau dengan istilah lain, perubahan kogn
itif, afektif dan behavioral. Pendekatan
ketiga meninjau satuan observasi yang dikenal efek komunikasi massa sebagai
individu, kelompok, organisasi, masyarakat, atau bangsa.
TABEL 6
Efek Komunikasi Massa
Sasaran
|
Media Fisik
|
Pesanan
|
||||
Kognitif
|
Afektif
|
Behavioral
|
Kognitif
|
Afektif
|
behavioral
|
|
Individual
Interpersonal Sistem
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
|
13
|
14
|
15
|
16
|
17
|
18
|
Efek Kognitif terjadi bila ada perubahan
pada apa yang diketahui, dipahami, atau dipersepsi khalayak. Efek afektif
timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci
khalayak. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang
meliputi pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan perilaku.
2.3.1 Efek Kehadiran Media Massa
“The medium is the message” ujar
McLuhan. Media saja sudah menjadi pesan. Yang memengaruhi bukan apa yang
disampaikan media, tetapi jenis media komunikasi yang digunakan seperti
interpersonal, media cetak dan televise. Steven H. Chaffee menyebutkan 5 hal
(1) efek ekonomis: mengakui bahwa kehadiran media massa menggerakkan berbagai
usaha seperti produksi, distribusi, dan konsumsi “jasa” media massa. (2) efek
sosial: kehadiran televisi meningkatkan status sosial pemiliknya seperti
dipedesaan, televisi telah membentuk jaringan interaksi sosial yang baru. (3)
efek pada penjadwalan kegiatan: televisi telah merubah kegiatan penduduk desa
yang tadinya tidak malas malah sekarang bertambah malas sehingga menyebabkan
para penduduk desa yang sudah sepuh banyak mengeluh.(4) efek pada
penyaluran/penghilangan perasaan tertentu: efek alihan bukan hanya terjadi pada
televisi saja. Kehadiran surat kabar, video recorder, CB, radio pging device,
terminal komputer yang terhubung dengan pusat informasi dan media komunikasi
massa kontemporer lainnya dapat mengorganisasikan kegiatan khalayak. (5} efek
perasaan orang terhadap media: Steven H. Chaffee menyebutkan dua efek lagi
akibat kehadiran media massa sebagai objek fisik yaitu hilangnya perasaan tidak
enak dan tumbuhnya perasaan tertentu pada media massa. Media digunakan tanpa
mempersoalkan isipesan yang disampaikan.
2.3.2 Efek Kognitif Komunikasi Massa
Citra adalah gambaran tentang dunia atau
gambaran realitas yang tidak harus sesuai dengan realitas atau dunia menurut
persepsi kita.komunikasi tidak secara langsung menimbulkan efek
tertentu,”tetapi cenderung memengaruhi cara mengorganisasikan citra tentang
lingkungan; dan citra inilah yang akan mempengaruhi cara kita berperilaku” ujar
Roberts (1977).
Pembentukan
dan perubahan citra
Realitas yang ditampilkan media adalah
realitas yang sudah diseleksi atau relitas tangan kedua (second hand reality). Kita membentuk citra tentang lingkungan
sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa. Stereotip
adalah gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang
tidakberubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar.
Uraian diatas menjelaskan menjelaskan bagaimana media massa menampilkan
realitas tangan kedua, memberikan status, dan menciptakan stereotip; dengan
singkat, kita menceritakan peran media massa dalam membentuk citra. Akan tetapi
pengaruhnya tidak berhenti sampai disitu, media massa juga mempertahankan citra
yang sudah dimiliki khalayaknya. Lee Loevinger (1968) mengemukakan teori
komunikasi yang disebut reflective-profektif
theory yang beranggapan bahwa media massa cermin masyarakat yang
mencerminkan suatu citra yang ambigu seperti menimbulkan tafsiran yang
bermacam-macam sehingga pada media massa setiap orang setiap orang
memproyeksikan atau melihat citranya.
Klapper
tokoh konvensional yang menumbangkan The Power Ful Media melihat bukan saja
media yang mempertahankan citra khalayak media lebih cenderung menyokong status
quo ketimbang perubahan. Informasi dipilih yang sedapat mungkin tidak terlalu
menggoncangkan status quo. Roberts (1977) menganggap kecenderungan ini timbul
karena tiga hal yaitu :
1.
Reporter dan editor memandang dan menafsirkan dunia sesuai dengan
citranya tentang realitas ( kepercayaan, nilai, dan norma ).
2.
Wartawan selalu memberikan respon pada tekanan halus yang merupakan kebijaksanaan pemimpin media
3.
Media massa sendiri cenderung menghindari hal-hal yang kontroversial
Audience share (andil khalayak) dikhawatirkan
direbut oleh media saingan. Dengan begitu, N yang paling aman ialah menampilkan
dunia sedapat mungkin seperti yang diharapkan oleh kebanyakan khalayak. Pengaruh
media massa terasa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang
memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Dikalangan
wartawan dikenal apa yang lazim disebut in vestigative reporting (pelapor
penyelidikan). Laporan tentang skandal Watergate adalah contohnya. Media massa
memberikan perincian, analisis, dan tinjauan mendalam tentang berbagai
peristiwa. Penjelasan itu tidak mengubah tapi menjernihkan citra kita tentang
lingkungan. Media massa mengurangi ketidakpastian.
Agenda Setting
Media
massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang aoa yang dianggap penting. Media
massa tidak membutuhkan what to think, tetapi mempengaruhi what too thing
about. Dengan memilih berita tertentu dan mengabaikan yang lain dengan
menonjolkan satu persoalan dan menyampaikan satu persoalan yang lain media
membentuk citra atau gambaran dunia kita seperti yang disajikan dalam media
massa.
Walaupun kita dapat melacak agenda setting
pada konsep The World Outside and The Pictures in Our Flead dari Waiter Lippman
(1965). Mereka menuliskan laporan antara lain :
“ walaupun para ilmuan yang meneliti prilaku
manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan
masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa
para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk
realitas social kita, ketika mereka melakasanakan tugas keseharian mereka dalam
memilih dan menonjolkan berita, khalayak bukan hanya belajar tentang isu-isu
masyarakat dalam hal-hal lain melalui media mereka juga belajar sejauh mana
pentingnya suatu isu atau topic dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Dampak media massa kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif di antara
individu-individu telah dijuluki sebagai fungsi agenda settting dari komunikasi
massa. Di sinilah terletak efek komunikasi massa yang terpenting kemampuan
media untuk menstruktur dunia buat kita (MeCombs dan Shaw, 1974:1).”
Teori
agenda setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita,
artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selekti, gatekeepers
seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang
pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu
diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar,
frekuensi pemuatan, posisi dalam surat kabar.
Efek Prososial Kognitif
Efek
Prososial Kognitif adalah bagaimana media massa memberikan manfaat yang
dikehendaki oleh masyarakat. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti
tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar maka televisi teleh menimbulkan
efek prososial kognitif.
2.3.3 Efek
Afektif Komunikasi Massa
Pembentukan dan perubahan
sikap
Menurut
Joseph Klepper (1960), berdasarkan penelitian yang komprehensif mengenai media
massa, dalam hubungannya dengan pembentukan dan perubahan sikap, pengaruh
media massa dapat disimpulkan pada lima prinsip umum :
·
Pengaruh komunikasi massa,
faktor-faktornya :
–
predisposisi personal
–
proses selektif
–
keanggotaan kelompok
·
Faktor-faktor diatas
berfungsi memperkokoh sikap dan pendapat yang ada, walaupun kadang-kadang
berfungsi sebagai agent of change.
·
Komunikasi massa
menimbulkan perubahan sikap, perubahan kecil pada intensitas sikap lebih umum
terjadi daripada konversi (perubahan seluruh sikap).
·
Komunikasi massa efektif
dalam bidang dimana pendapat orang lemah (misalnya pada iklan komersial).
·
Komunikasi massa afektif
dalam menciptakan pendapat tentang masalah-masalah baru bila tidak ada
predisposisi yang harus diperteguh.
Perubahan sikap secara
berarti tidak ditemukan oleh peneliti sebab :
·
alat ukur yang digunakan
oleh peneliti gagal mendeteksi perubahan tersebut.
·
terjadi terpaan selektif
yang menyebabkan orang cenderung menerima konsepsi yang sudah ada sebelumnya.
·
ketika kita mengukur efek
media massa, kita mengukur efek yang saling menghapus, artinya orang menerima
bukan saja media massa yang mengkampanyekan hal tertentu, tetapi juga menentang
hal tersebut.
·
media memang tidak menyebabkan
orang beralih sikap, tetapi hanya memperkokoh kecenderungan yang sudah ada
sehingga setiap pihak, dengan kampanye berusaha menghindari pindah ke pihak
lain.
·
umumnya kita mengukur efek
media massa pada sikap politik yang didasarkan pada keyakinan yang dipegang
teguh, bukan pada sikap yang berlandaskan kegiatan yang dangkal.
·
diduga, mereka yang diterpa
media massa adalah orang-orang yang lebih terpelajar.
·
diduga, media massa tidak
berpengaruh langsung pada khalayak, tetapi melewati dulu pemuka-pemuka pendapat.
·
media massa tidak mengubah
pendapat, tetapi memengaruhi penonjolan suatu isu di atas isu yang lain.
Rangsangan Emosional
Faktor-faktor yang
mempengaruhi intensitas rangsangan emosional pesan pada media massa :
·
Suasana emosional (mood)
dalam mempersepsi sesuatu, suasana mental sangat berpengaruh.
·
Skema kognitif : naskah
pada pikiran kita yang menjelaskan alur peristiwa yang dapat juga terbentuk
karena induksi verbal atau petunjuk pendahuluan yang menggerakkan kerangka
interpretatif.
·
Suasana terpaan : kondisi
sekitar akan memengaruhi dalam emosi pada saat memberikan respons.
·
Predisposisi individual :
mengacu pada karakter individu yang khas, semua orang berbeda-beda.
·
Tingkat identifikasi
khalayak terhadap tokoh dalam media massa : sejauh mana orang merasa terlibat
dengan tokoh yang ditampilkan di media massa
Rangsangan Seksual
Merupakan rangsangan yang
muncul akibat adegan-adegan erotis di media massa, yang kita kenal dengan
pornografi. Beberapa ahli menggunakan istilah SEM (Sexually Explicit Materials)
atu erotika. Erotika merangsang gairah seksual, meruntuhkan nilai moral,
mendorong orang gila seks, dan merangsang gairah seksual.
Dalam bab ini, dikenal
adanya stimuli erotis, yaitu stimuli yang membangkitkan gairah seksual internal
dan eksternal. Stimuli internal adalah perangsang yang timbul dari mekanisme
dalam tubuh organisme. Sedangkan stimuli eksternal adalah petunjuk-petunjuk
(cues) yang bersifat visual (olfactory), sentuhan (tactual),
gerakan (kinesthetic), dan intelektual.
Menurut tokoh Baron dan Byrne, erotika telah diungkapkan sejak masa kemanusiaan
yang paling dini. Di dunia modern sekarang, erotika menjadi komoditi yang laku.
Minat orang pada erotika timbul karena beberapa motif, antara lain rasa ingin
tahu dan aphrodisiac. Seks sendiri dikenal pertama kali dari media
erotika.
2.3.4
Efek Behavioral Komunikasi
Massa
Efek komunikasi massa pada perilaku sosial yang diterima atau efek prososial
behavioral (dan pada perilaku agresif). Selanjutnya, akan diulas teori-teori
yang menjelaskan efek komunikasi massa pada peristiwa-peristiwa sosial.
·
Efek Prososial Behavioral
Salah satu perilaku
prososiala memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.
Teori psikologi yang menjelaskan efek prososial media massa adalah teori
belajar sosial menurut Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari
pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Artinya,
kita mampu memiliki keterampilan tertentu bila terdapat jalinan positif yang
kita amati dan karakteristik kita.
·
Agresi Sebagai Efek
Komunikasi Massa
Agresi sebagai setiap
bentuk perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain yang
menghindari perlakuan seperti itu (Baron dan Byrne, 1979:405). Menurut teori
belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya,
stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Kita dapat menduga penyajian cerita
atau adegan kekerasan dalam media massa akan menyebabkan orang melakukan
kekerasan pula, dengan kata lain mendorong orang menjadi agresif.
Menurut
McLuhan, bentuk media saja sudah mempengaruhi kita. “The mediumis the message,”
ujar McLuhan. Medium saja sudah menjadi pesan. Ia bahkan menolak pengaruh
pengaruh isi pesan sama sekali (lihat: McLuhan, 1964). Yang
mempengauhi kita bukan apa yang disampaikan media, tetapi jenis media
komunikasi yang kita bukan apa yang disampaikan media, tetapi jenis media ,
tetapi jenis media komunikasi jita pergunakan-interpersonal, media cetak, atau
televisi.
Teori
McLuhan, disebut teori perpanjangan alat indra (sense
extension theory), menyatakan bahwa media adalah perluasan dari alat indra
manusia; telepon adalah perpanjangan teliga dan telivisi adalah perpanjangan
mata. Seperti Gatutkaca, yang mampu melihat dan mendengar dari jarak jauh,
begitu pula manusia yang menggunakan media massa. McLuhan menulis, “secra
operasional dan praktis, medium adalah pesan. Ini berarti bahwa akibat-akibat
personal dan social dari media yakni karena perpanjangan diri kita timbul
karena skala baru baru yang dimasukkan pada kehidupan kita oleh perluasan diri
kita atau oleh teknologi baru media adalah pesan karena media membentuk
dan mengenedalikan skala serta bentuk hubungan dan tindakan manusia.” (McLuhan,
1964: 23-24)
Menurut Steven H. Chaffee
Efek Media Massa ada 5 macam :
1. Efek ekonomis.
2. Efek sosial.
3. Efek pada
penjadwalan kegitan.
4. Efek pada
penyaluran/penghilangan perasaan tertentu.
5. Efek pada perasaan
orang terhadap media.
Teori-Teori
Efek Sosial Komunikasi Massa
Menurut
Harold Adams Innis (1951), media memengaruhi bentuk-bentuk organisasi sosial.
Setiap media memiliki kecenderungan memihak ruang atau waktu –communication bias. Perekam pesan pada
zaman dahulu seperti batu, tanah liat, kulit kayu sukar diangkut ke
tempat-tempat jauh, tetapi tahan lama. Ini berarti bias pada waktu. Kertas
cetak, sebaliknya mudah diangkut ke manapun, tetapi tidak begitu tahan lama.
Media cetak bias pada ruang. Bias waktu membawa ke masa lalu, bias ruang
membawa ke masa depan. Dengan demikian, setiap media komunikasi membentuk jenis
kebudayaan tertentu. Media lisan mengandung bias waktu, karena sukar didengar
dari jarak jauh. Ini melahirkan masyarakat tradisional dan kekuasaan kelompok agama serta orang-orang tua. Media
tulisan memiliki bias ruang. Ini melahirkan masyarakat yang menolak tradisi,
meninggalkan mitos dan agama, serta berorientasi pada masa depan.
Dari
Innis, McLuhan belajar banyak. Dipoles dengan teori Sapir Whorf yang menyatakan
bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir, lahirlah teori Medium is the message (sekali-sekali dengan lincah McLuhan
menggantinya menjadi “medium is the
message” atau “medium is the
message”). Menurut McLuhan, setiap media mempunyai tata bahasanya sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan tata bahasa ialah seperangkat peraturan yang erat
kaitannya dengan berbagai alat indera dalam hubungannya dengan penggunaan
media. Karena media bias pada alat indera tertentu, media mempunyai pengaruh
yang berbeda pada perilaku manusia yang menggunakannya. Media lisan bias pada
suara dan melahirkan keakraban sosial dan kehidupan kelompok. Media cetak bias
pada penglihatan dan melahirkan sistem perseptual yang linear, urutan yang
sekuensial, dan kecenderungan menata dan mengatur berdasarkan susunan tertentu.
Media lisan melahirkan ikatan sosial yang erat, media cetak menimbulkan
individualisme dan televisi menyebabkan demokrasi kolektif. Menurut McLuhan,
televisi akan melahirkan desa dunia (global
village), dimana orang-orang diseluruh dunia berbagi pengalaman dan gagasan
secara serentak.
Baik Innis maupun
McLuhan mengemukakan teori efek sosial berdasarkan analisis logis (dan
historis); jadi bukan berdasarkan penelitian empiris. Sebaliknya, kedua teori
berikutnya lahir dari pengamatan empiris yang cermat. Teori pertama dikemukakan
oleh George Gerbner, dekan Annenberg School of Communications, University of
Pensylvania, dan peneliti analisis isi dari berbagai media terutama sekali
media elektronik. Teori kedua dikemukakan oleh David P. Phillips, profesor
sosiologi di University Of California, San Diego. Gerbner mengecam penelitian
tradisional yang menelaah media massa sebagai suatu gejala yang terpisah dari
sistem sosial. Penelitian terdahulu difokuskan pada efek kognitif, afektif, behavioral dan menyampaikan efek ideologis.
Apa yang disebut ideologi?
Setiap
masyarakat mempunyai serangkaian penjelasan tentang realitas, yang merupakan
gambaran terpadu dan homogen tentang apa yang ada, apa yang penting, apa yang
berhubungan dengan apa, dan apa yang benar. Peraturan disebut ideologi yang
melahirkan dirinya dalam bentuk teks, pesan-pesan yang diproduksi
lembaga-lembaga sosial dan tampak pada proses komunikasi. Distribusi pesan
menciptakan lingkungan simbolis (symbolic
environment) yang mencerminkan struktur dan fungsi lembaga yang memproduksi
pesan itu. “Ideology develops mainly, and
with all its consequences, through the mass media and trough television in
particular,” ujar Luc van Poecke (1980: 425) ketika mengomentari teori Gerbner.
Di
antara berbagai media, televisi adalah mesin ideologi yang paling ideal. Dengan
ini, media massa membentuk lingkungan simbolis. Untuk menganalisis efek media
massa, kita harus melihat dan menelaah lingkungan simbolis yang disajikan media
massa. Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisis
akibat-akibat penanaman ideologi ini disebut cultavation analysis. Sekarang kita beralih pada teori imitasi dan
sugesti dari David P. Phillips. Phillips adalah ahli sosiologi. Ia menyebutkan bahwa
teorinya bukanlah hal yang baru. Ahli-ahli sosiologi seperti Tarde, Le Bon, dan
Mead telah membicarakan peranan imitasi dan sugesti. Begitu pula para psikolog
telah banyak mengulas teori modeling. Adapun yang baru dari Phillips ialah
penggunaan kerangka teori imitasi pada efek media massa terhadap
anggota-anggota masyarakat. Betapapun belum sempurnanya teori Phillips, bersama
dengan teoritisi-teoritisi lainnya, ia telah menggambarkan kepada kita gambaran
tentang efek-efek media massa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam media massa, manusia selalu diasumsikan sebagai
robot yang pasif artinya dapat dikontrol oleh lingkungan tetapi sebenarnya
setiap manusia mempunyai cara yang unik untuk memahami lingkungan secara
fenomenologis. Dampak media massa adalah kemampuan untuk menimbulkan perubahan
kognitif diantara individu yang telah mendapat julukan sebagai fungsi agenda
setting dari komunikasi massa itu sendiri. Disinilah terletak efek komunikasi
massa yang terpenting, yaitu kemampuan media untuk menstruktur dunia buat
khalayak (McCombs dan Shaw, 1974:1).
DAFTAR
PUSTAKA
Rakhmat, jalaluddin. 2012. PSIKOLOGI
KOMUNIKASI. PT REMAJA ROSDAKARYA : Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar